Festival Samin ke-9: Obor Sewu dari Margomulyo untuk Generasi Mendatang

 


Pastipas.id – Di tengah sejuknya angin yang menyusup di antara pohon jati tua Dusun Jepang, Desa Margomulyo, obor nilai-nilai luhur kembali dinyalakan. Masyarakat Sedulur Sikep menggelar Festival Samin ke-9, perayaan budaya yang tak sekadar meriah, tapi menyala dengan kearifan dan kesederhanaan—warisan Mbah Samin Surosentiko yang terus hidup dalam langkah.

Berlangsung pada 4-5 Juli 2025, Festival Samin tahun ini membawa tema mendalam: “Pangklingo Wonge Ojo Pangkling Swarane” — pesan bijak agar masyarakat tak hanya melihat siapa yang bicara, tapi menangkap makna dari setiap suara yang lahir dari nurani.

Hari pertama dibuka dengan Gumbregan Samin, Umbul Dungo, dan pagelaran Karawitan. Semua berlangsung dalam suasana syahdu dan membumi, sebagaimana ajaran Samin yang mengajarkan keselarasan dengan alam dan batin. Wajah-wajah tulus para Sedulur Sikep, dengan udheng bermotif Obor Sewu, seolah membawa pengunjung menyelami waktu—mengenang, merenung, dan memahami kembali arti hidup yang bersahaja.

Namun puncak refleksi justru terjadi pada hari kedua, saat sesi Ngangsu Kawruh digelar. Di sinilah, sejarah dan masa depan bertemu lewat simbol: Obor Sewu—seribu obor penerang yang tak padam meski zaman berganti. Dr. Sugeng Wardoyo dari ISI Yogyakarta menyerahkan disertasi risetnya tentang motif Obor Sewu, yang telah diabadikan sebagai identitas ASN Bojonegoro dalam udheng dan pakaian dinas harian mereka.

“Motif ini adalah harapan agar ajaran Mbah Samin menjadi penerang bagi anak cucu,” ungkap Bambang Sutrisno, penerus ajaran Samin.

Simbol lain menyentuh hati datang dari Wakil Bupati Bojonegoro, Nurul Azizah. Dalam sambutannya, ia membagikan kisah ziarah ke Sawahlunto, Sumatera Barat, tempat Mbah Samin diasingkan dan dimakamkan. Tak sekadar kunjungan, ia membawa pulang tiga jun tanah dari pusara sang tokoh perlawanan tanpa kekerasan itu. Tanah tersebut kini disemayamkan di Margomulyo—menyatukan kembali ruh dan akar perjuangan Samin dengan tanah kelahirannya.

“Saya merasa ini bukan sekadar misi dinas, tapi panggilan jiwa. Menyatukan jejak dan meneruskan pesan,” tutur Nurul Azizah, penuh haru.

Festival ini juga menjadi forum intelektual. Diskusi filosofis menghadirkan nama-nama seperti Prof. Dr. Guntur, Bambang Eka Prasetya, dan anggota DPRD Wawan Kurnianto. Di antara lontaran pemikiran, muncul usulan agar kata “trokal”—yang bermakna gigih, tak menyerah meski terluka—diusulkan masuk dalam kamus resmi Bahasa Indonesia.

Di tengah kemeriahan budaya, makan siang dibungkus daun jati, duduk lesehan beralas tikar, semua mencerminkan hidup sederhana yang bukan sekadar simbol, tapi laku yang dijalani.

Kepala Desa Margomulyo, Muryanto, mengungkapkan rasa syukurnya atas dukungan pemerintah dan kehadiran para budayawan. “Festival ini bukan milik kami semata, tapi milik seluruh bangsa yang ingin kembali ke akar,” ujarnya.

Festival Samin ke-9 pun usai, tapi nyalanya tidak padam. Obor Sewu kini menyala di hati generasi muda, menjadi api kecil yang menuntun jalan—tentang bagaimana hidup dengan jujur, sabar, nrimo, dan tetap trokal, walau dunia terus berubah.


Redaksi

Nothing..

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama