43 Tahun PSJB, Menjaga Nyala Bahasa Ibu dari Bojonegoro





Pastipas.id – Ada yang hangat di Desa Gajah, Kecamatan Baureno,  Di teras rumah Nono Warnono, udara tak hanya berisi semilir angin pedesaan, tapi juga getaran kata-kata dari para pecinta sastra Jawa yang berkumpul memperingati 43 tahun Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB).

Bukan sekadar acara ulang tahun, tapi pertemuan hati para penjaga bahasa ibu—bahasa Jawa—yang sejak 1982 tak lelah menuliskannya dalam bait geguritan, cerkak, hingga novel panjang. Mereka datang dari berbagai penjuru Bojonegoro, bahkan dari luar daerah, dengan satu semangat: nguri-uri kabudayan Jawa.

Deretan nama yang tak asing di dunia sastra Jawa turut hadir: JFX Hoery, Nono Warnono, Mas Gampang Prawoto, Emi Sudarwati, hingga penulis tamu dari Lamongan, Hery. Suasana makin hangat dengan kehadiran para seniman lokal seperti Darminto, Agus Shigro, dan Eko Peye.

Tembang-tembang macapat terdengar lirih, menyatu dengan suara hati yang rindu akan suasana zaman dulu—zaman ketika bahasa Jawa tidak hanya dituturkan, tapi juga dijunjung tinggi.

“PSJB akan terus berusaha menjaga dan merawat bahasa Jawa, karena dari sanalah kita berasal,” ucap Nono Warnono, Ketua PSJB, dengan suara pelan tapi penuh keyakinan.

Sejak didirikan 43 tahun lalu, PSJB telah melahirkan puluhan karya. Tak hanya buku, tapi juga generasi. Beberapa anggotanya pernah mengharumkan nama Bojonegoro lewat penghargaan sastra nasional seperti Sutasoma, Rancage, hingga pengakuan dari Balai Bahasa.

Salah satu tokoh penting dalam sejarah PSJB, JFX Hoery, mengenang masa awal berdirinya organisasi ini. Dulu, katanya, membuat komunitas sastra bukan perkara mudah. “Kami memilih istilah pamarsudi, yang artinya pencari atau pengkaji, supaya semua orang yang punya semangat bisa bergabung, tanpa merasa dibatasi,” kenangnya.

Hoery sudah lebih dari 50 tahun mengabdi untuk sastra. Kini, ia bersama rekan-rekannya tidak hanya menulis, tapi juga mengarsipkan cerita rakyat, menerbitkan buku, dan berkolaborasi dengan lembaga pendidikan serta pemerintah.

“Kalau kita tidak merawat bahasa kita sendiri, siapa lagi?” kata Hoery, sembari memandangi halaman rumah yang dipenuhi tawa dan percakapan dalam bahasa Jawa.

PSJB tidak berhenti di usia ke-43 ini. Rencana mereka ke depan penuh dengan cita-cita: masuk ke sekolah-sekolah, menggandeng komunitas muda, dan merangkul lebih banyak orang agar bahasa Jawa tetap menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Karena bahasa adalah rumah. Dan di Bojonegoro, rumah itu dijaga dengan cinta oleh orang-orang yang percaya bahwa sastra adalah cara paling halus untuk mencintai.(red)

Redaksi

Nothing..

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama