Pastipas.id – Di sebuah rumah sederhana di Desa Butoh, Kecamatan Ngasem, suasana duka menggantung pekat di udara. Hari itu, langit Bojonegoro seolah ikut menangis. Karangan bunga berbaris rapi di halaman depan, mengirim pesan belasungkawa dari berbagai penjuru, termasuk dari Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat Bagus Adi Prayogo menuntut ilmu dan mengukir cita-cita.
Bagus, putra sulung pasangan Lasman dan Santi, adalah mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM. Ia bukan sekadar mahasiswa—ia adalah simbol semangat muda yang berangkat ke ujung timur negeri untuk mengabdi lewat program Kuliah Kerja Nyata (KKN-PPM) di Kabupaten Maluku Tenggara. Namun takdir berkata lain.
Dalam perjalanan pulang dari Pulau Wahru, perahu yang ditumpangi Bagus dan rekan-rekannya dihantam gelombang besar di perairan Debut. Perahu itu terbalik. Bagus tak pernah kembali dalam keadaan hidup.
Dini hari pukul 00.30 WIB, jenazahnya tiba di kampung halaman. Tangis sang ayah, yang sehari-hari berdagang kelontong sambil bertani, pecah di tengah iring-iringan doa. Desa Butoh tak hanya kehilangan seorang anak muda terbaiknya, tapi juga sebuah mimpi yang tenggelam bersama gelombang di timur sana. Pemakaman dilangsungkan pada hari yang sama, dengan iringan ribuan doa dan linangan air mata.
Bupati Bojonegoro, Setyo Wahono, didampingi sang istri, Bunda Cantika Wahono, hadir langsung di rumah duka. Ia memeluk keluarga yang ditinggalkan, menyampaikan belasungkawa tak hanya sebagai pemimpin daerah, tapi juga sebagai seorang ayah yang turut merasakan kehilangan.
“Kami semua berduka. Semoga keluarga diberi ketabahan, dan semoga almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan,” ucap Bupati lirih.
Teman-teman Bagus dari Fakultas Kehutanan UGM pun datang. Mereka membawa cerita, kenangan, dan tangis. Hari itu, di Desa Butoh, semua batas usia, jabatan, dan status mencair dalam duka yang sama. Bagus pergi, tapi semangatnya tinggal—menjadi nyala abadi di hati siapa pun yang percaya bahwa pengabdian adalah bentuk cinta paling dalam pada negeri ini. (red)