Sekolah Kehilangan Jam Belajar, Program MBG Dinilai Perlu Dievaluasi

Bojonegoro, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah terus menuai sorotan. Di satu sisi, program ini dinilai mampu meningkatkan kualitas gizi peserta didik. Namun di sisi lain, pelaksanaannya dianggap mengganggu ritme belajar di sekolah. Sejumlah lembaga pendidikan di Bojonegoro bahkan mengaku mengalami dampak langsung terhadap efektivitas pembelajaran. Kepala MTs Plus Sunan Drajat Kedungsantren Bojonegoro, Ahmad Nashir Falachuddin, menilai MBG bak dua mata pisau. Ia menyebut, program tersebut sejatinya memiliki tujuan mulia, namun pelaksanaannya masih menyisakan sejumlah kendala teknis. “Ini program yang sangat bagus untuk nutrisi siswa, tapi di sisi lain merugikan lembaga, guru, dan siswa karena memotong jam pelajaran,” ujarnya, Selasa (7/10). Falachuddin menjelaskan, di bawah naungan Pondok Pesantren Sunan Drajat, pihaknya sebenarnya telah menjalankan program makan siang santri sejak lama. Bahkan sejak berdirinya pesantren pada 2021, dapur santri telah beroperasi penuh melayani kebutuhan konsumsi siswa setiap hari. “Kami punya dapur sendiri. Jadi sebelumnya para santri sudah terbiasa dengan dua kali makan sehat,” katanya. Setelah adanya program MBG, pola makan di pondok sempat meningkat menjadi tiga kali sehari—pagi, siang, dan malam. Namun, sejak 29 September lalu, distribusi makanan dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Desa Campurejo dihentikan sementara. Akibatnya, sistem makan kembali seperti semula, yakni dua kali sehari. “Untuk kondisi di pondok sejauh ini aman, tapi kami tidak tahu bagaimana dengan lembaga lain,” jelasnya. Ia menilai, kendala utama bukan pada konsep MBG, melainkan teknis pengiriman makanan yang sering kali dilakukan di tengah jam belajar siswa. Kondisi ini membuat guru dan peserta didik kehilangan waktu belajar efektif. “Petugas SPPG tidak bisa memastikan makanan datang di luar jam pelajaran. Akibatnya, jam belajar berkurang,” imbuh pria kelahiran Bojonegoro itu. Selain persoalan waktu, kualitas menu juga menjadi perhatian. Falachuddin mengungkapkan, pada awal pelaksanaan program, menu makanan terlihat menarik dan bervariasi. Namun, setelah berjalan dua minggu, kualitasnya dinilai mulai menurun. “Kritik untuk SPPG, menu yang disajikan terlihat manis di awal, tapi setelah dua minggu cenderung menurun,” ucapnya. Ia berharap, pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap teknis pelaksanaan MBG agar tujuan peningkatan gizi tidak mengorbankan waktu belajar siswa. “Kami mendukung program ini sepenuhnya, tapi perlu perbaikan sistem distribusi dan pengawasan kualitas makanan,” pungkasnya.(red).

admin

Saya hanya anak desa yang ingin bermanfaat untuk dunia.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama